img


Penulis: Penulis 1, Dipublish - 21 Aug 2024

LKBH DPC PERMAHI MAKASSAR Menantang Forum Rektor Indonesia (FRI) Menyelesaikan Perselisihan Skorsing Mahasiswa yang Menyuarakan Surat Edaran UIN Alauddin yang Bertentangan dengan Konstitusi dan Hak Asasi Mahasiswa.


...

Makassar – Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Makassar mengecam keras skorsing yang dikeluarkan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar terhadap mahasiswa yang terlibat dalam aksi demonstrasi damai, termasuk Ketua DPC PERMAHI Makassar. Tindakan ini tidak hanya mencederai hak asasi mahasiswa, tetapi juga bertentangan dengan Konstitusi dan berbagai Undang – Undang serta peraturan yang menjamin kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai.

Surat edaran yang mewajibkan mahasiswa untuk meminta izin kepada pihak kampus sebelum melakukan aksi demonstrasi jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." Selain itu, kebijakan ini juga melanggar Pasal 24 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menegaskan bahwa setiap orang berhak berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat secara damai.

Sejalan dengan salah satu dari lima kesepakatan yang dibuat dalam forum resmi Rektor Indonesia 1998 bahwa para rektor akan selalu bersama dengan mahasiswa dalam gerakan murni sebagai kekuatan moral dan intelektual, dan karena itu para rektor akan membela para mahasiswa yang tertindas reformasi dan terlanggar hak asasinya, Thoby Mutis ialah salah satu penggagas FRI lebih jauh menjelaskan peran FRI yaitu untuk memelihara kepekaan HAM, demokratisasi dan perekat kebangsaan dalam kemajemukan untuk menghasilkan aneka/sinergis, dengan adanya surat keputusan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alaudin Makassar No:1557 Tahun 2024 yang menyatakan mahasiswa dengan nama-nama yang tertuang didalamnya diskorsing selama 1 (satu) semester tahun akademik 2024/2025 akibat dari aksi unjuk rasa yang dilakukan terhadap surat edaran No: 2591 Tahun 2024 ini merupakan kemunduran demokrasi yang bertentangan dengan kebebasan berpendapat yang dijamin oleh Undang – Undang.

Skorsing yang dijatuhkan kepada mahasiswa, termasuk Ketua DPC PERMAHI Makassar, adalah tindakan yang tidak berdasar dan tidak proporsional, mengingat demonstrasi yang dilakukan berlangsung damai, tidak menimbulkan keonaran, dan tidak mengganggu ketertiban umum. Berdasarkan Pasal 18 UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, tindakan hukum terhadap orang yang melakukan aksi demonstrasi tidak boleh dilakukan kecuali jika aksi tersebut mengganggu ketertiban umum atau menimbulkan ancaman terhadap keamanan.

"Tindakan skorsing ini tidak hanya melanggar hak-hak mahasiswa, tetapi juga merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak kampus. Demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa berlangsung damai dan tidak ada dasar hukum yang kuat untuk menjatuhkan skorsing terhadap mereka," tegas Muh. Farhan S.H, Direktur LKBH PERMAHI Makassar yang kerap disapa Farhan.

LKBH PERMAHI Makassar menyerukan agar pihak kampus segera mencabut kebijakan skorsing ini dan menghormati hak-hak mahasiswa yang dijamin oleh Konstitusi dan Undang – Undang. Jika tindakan represif ini terus berlanjut, LKBH PERMAHI akan mempertimbangkan untuk mengambil langkah-langkah hukum guna melindungi hak-hak mahasiswa yang telah dilanggar Termasuk Gugatan Ke PTUN jika dibutuhkan.

Selain mencermati tindakan represif berupa skorsing, LKBH PERMAHI Makassar juga menyoroti kekuatan hukum dari surat edaran yang dikeluarkan oleh pihak UIN Alauddin. Surat edaran yang mewajibkan mahasiswa untuk meminta izin sebelum melakukan demonstrasi memiliki banyak kelemahan dari sisi legalitas dan legitimasi.

Perlu ditegaskan bahwa surat edaran merupakan instrumen administratif internal yang tidak memiliki kekuatan hukum yang setara dengan peraturan perundang-undangan. Surat edaran tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk membatasi hak-hak konstitusional warga negara, termasuk mahasiswa. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menegaskan bahwa peraturan yang mengatur hak-hak konstitusional harus dalam bentuk peraturan perundang-undangan, bukan sekadar surat edaran.

“Surat edaran tidak bisa dijadikan alat untuk membatasi hak asasi manusia, termasuk hak untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat. Kebijakan yang memaksa mahasiswa untuk meminta izin sebelum melakukan aksi demonstrasi tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan seharusnya tidak digunakan sebagai alasan untuk memberikan sanksi, apalagi skorsing,” ujar Farhan.

Lebih jauh lagi, pengabaian terhadap prinsip – prinsip hukum ini menunjukkan bahwa pihak kampus berpotensi menyalagunakan wewenang administratif mereka. Surat edaran yang mengandung muatan yang melampaui wewenang administratif dapat dianggap tidak sah secara hukum dan berpotensi menimbulkan konflik dengan norma – norma hukum yang lebih tinggi.

LKBH PERMAHI Makassar menegaskan bahwa segala bentuk pembatasan terhadap hak asasi manusia, termasuk hak untuk berdemonstrasi, harus memiliki dasar hukum yang jelas dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan yang hanya berdasarkan surat edaran internal tidak dapat dijadikan dasar untuk memberlakukan sanksi berat seperti skorsing.

“Kami meminta pihak kampus untuk segera mengkaji kembali surat edaran ini dan mempertimbangkan implikasi hukumnya. Hak-hak mahasiswa tidak boleh dikorbankan atas dasar kebijakan administratif yang cacat hukum,” tambah Farhan.

Dengan demikian, LKBH PERMAHI Makassar mendesak agar surat edaran tersebut segera dicabut atau direvisi agar sejalan dengan prinsip – prinsip hukum yang berlaku dan tidak merugikan hak-hak konstitusional mahasiswa.

"Kami akan terus memperjuangkan keadilan bagi mahasiswa dan menuntut pihak kampus untuk kembali kepada prinsip – prinsip demokrasi dan kebebasan akademik. Hak untuk berekspresi tidak boleh dikekang, apalagi dalam lingkungan akademik yang seharusnya menjadi tempat yang paling aman untuk menyuarakan pendapat," tutup Farhan.